Algoritma adalah Ilusi: Mengapa Konten Jelek Bisa Menang di Media Sosial?

Media sosial algoritma

Media sosial telah mengubah cara kita berinteraksi, berbagi informasi, dan mengonsumsi konten. Platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan TikTok bergantung pada algoritma untuk menentukan apa yang akan muncul di feed kita. Algoritma ini dirancang untuk menyaring konten terbaik berdasarkan minat, interaksi, dan preferensi pengguna. Namun, meskipun algoritma bertujuan menyajikan konten yang relevan dan berkualitas tinggi, kita sering kali melihat konten yang terbilang “jelek” atau kurang bermutu bisa mendapatkan perhatian yang luar biasa di media sosial. Mengapa hal ini terjadi? Apakah algoritma benar-benar dapat menentukan kualitas konten, ataukah ada faktor lain yang ikut berperan?

Apa Itu Algoritma Media Sosial?

Sebelum menggali lebih dalam, penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan algoritma di media sosial. Secara sederhana, algoritma adalah serangkaian aturan atau instruksi yang digunakan oleh platform media sosial untuk memutuskan konten mana yang harus ditampilkan kepada pengguna. Ini berdasarkan beberapa faktor, termasuk interaksi pengguna sebelumnya, jenis konten yang sering mereka lihat, dan preferensi tertentu yang mereka tunjukkan.

Tujuan utama algoritma adalah meningkatkan pengalaman pengguna dengan menunjukkan konten yang paling relevan dan menarik. Namun, apakah algoritma ini benar-benar dapat memprediksi apa yang akan disukai pengguna? Atau justru ada kekurangan dalam cara kerja algoritma yang memungkinkan konten berkualitas rendah juga mendapat sorotan?

Mengapa Konten Jelek Bisa Menang di Media Sosial?

1. Konten Sensasional Lebih Menarik untuk Diklik

Salah satu alasan utama mengapa konten jelek bisa memenangkan algoritma adalah daya tarik sensasionalnya. Konten yang berlebihan, kontroversial, atau provokatif lebih cenderung menarik perhatian pengguna untuk mengklik atau berinteraksi. Ini karena sifat alami manusia yang cenderung tertarik pada hal-hal yang memicu emosi, apakah itu kemarahan, kebingungan, atau kejutan.

Sementara konten yang lebih berkualitas atau mendalam mungkin membutuhkan waktu untuk dicerna atau dipahami, konten sensasional bisa langsung menarik perhatian. Misalnya, sebuah judul yang menyesatkan atau gambar yang mengejutkan dapat memicu rasa ingin tahu, yang kemudian menghasilkan klik dan berbagi. Ini memberi sinyal pada algoritma bahwa konten tersebut relevan dan layak untuk diperlihatkan lebih banyak kepada audiens lain.

2. Interaksi Lebih Penting Daripada Kualitas

Platform media sosial sering kali mengutamakan interaksi pengguna dengan konten. Semakin banyak likes, komentar, dan berbagi yang diterima sebuah postingan, semakin besar kemungkinan konten tersebut akan muncul di feed orang lain. Ini membuat konten yang mungkin tidak begitu mendalam atau bahkan tidak berkualitas tinggi bisa terus mendapatkan perhatian hanya karena interaksi yang tinggi.

Sebagai contoh, sebuah video yang lucu atau meme yang sederhana dapat dengan mudah memperoleh ribuan atau bahkan jutaan interaksi, meskipun kontennya tidak memiliki nilai informasi yang signifikan. Ini adalah hasil dari mekanisme umpan balik yang sangat efektif di platform media sosial, di mana algoritma lebih mengutamakan popularitas daripada kualitas objektif dari konten tersebut.

3. Viralnya Konten: Faktor Keberuntungan

Banyak orang mungkin setuju bahwa keberuntungan juga memainkan peran besar dalam kesuksesan sebuah konten di media sosial. Ada banyak kasus di mana konten yang terlihat biasa-biasa saja atau bahkan jelek bisa tiba-tiba viral karena faktor keberuntungan. Mungkin saja sebuah video lucu atau gambar yang tampaknya tidak berarti bisa mendapat perhatian dari influencer atau selebriti tertentu, yang kemudian membagikan konten tersebut kepada jutaan pengikut mereka.

Selain itu, algoritma sering kali menilai konten yang sedang tren dan memberikan lebih banyak eksposur kepada mereka. Ini berarti konten yang mendapatkan perhatian tiba-tiba, bahkan jika itu konten biasa atau tidak menarik, bisa terus berkembang dan menjadi lebih populer. Keberuntungan, dalam hal ini, menjadi faktor yang sulit dikendalikan oleh pembuat konten.

4. Pembayaran dan Iklan Berbayar

Salah satu faktor yang sering terlupakan adalah peran iklan berbayar dalam memperluas jangkauan konten. Banyak perusahaan atau individu yang ingin mempromosikan produk atau layanan mereka melalui media sosial memilih untuk membayar platform tersebut agar konten mereka dilihat oleh lebih banyak orang, terlepas dari kualitasnya. Hal ini memperkenalkan ketidakadilan dalam distribusi konten, karena konten yang dipromosikan atau disponsori lebih cenderung mendapat sorotan dibandingkan dengan konten yang lebih organik.

Iklan berbayar bisa membuat konten dengan kualitas rendah atau bahkan menyesatkan mendapatkan perhatian yang lebih besar hanya karena ada uang yang dipertaruhkan. Ini bukan hanya berlaku untuk produk atau layanan, tetapi juga untuk konten yang dirancang hanya untuk menarik klik dan bukan memberikan informasi yang bermanfaat.

5. Algoritma yang Memandang Interaksi sebagai Indikator Kualitas

Pada dasarnya, algoritma media sosial lebih cenderung menilai keberhasilan konten berdasarkan interaksi, seperti likes, komentar, dan share. Ini adalah cara cepat bagi algoritma untuk menilai apakah sebuah konten diterima oleh audiens atau tidak. Namun, masalahnya adalah bahwa interaksi ini tidak selalu mencerminkan kualitas atau kedalaman konten.

Misalnya, sebuah postingan dengan gambar yang tidak relevan atau judul clickbait bisa mendapatkan banyak komentar dan likes, meskipun kontennya sendiri mungkin tidak memberi nilai tambah apapun. Ini menandakan bahwa algoritma cenderung mengevaluasi konten berdasarkan volume interaksi daripada substansi atau kualitas yang lebih mendalam. Akibatnya, konten yang jelek atau tidak informatif tetap bisa mendapatkan tempat di puncak.

Bagaimana Cara Menangani Fenomena Ini?

Salah satu cara untuk menangani fenomena ini adalah dengan mulai mengedepankan konten yang lebih bermanfaat dan memberikan nilai lebih kepada audiens. Alih-alih hanya mengandalkan algoritma untuk menentukan apa yang akan dilihat orang, pencipta konten bisa memilih untuk memprioritaskan kualitas dan memberikan informasi yang benar-benar berguna bagi pengikut mereka.

Selain itu, platform media sosial juga bisa berinovasi dengan memperbaiki algoritma mereka agar lebih menekankan kualitas dan relevansi konten daripada hanya fokus pada interaksi atau klik semata. Dengan begitu, kita bisa kembali pada tujuan awal media sosial: membangun komunitas, berbagi pengetahuan, dan memperkaya pengalaman digital.

Kesimpulan

Meskipun algoritma dirancang untuk memberikan konten yang relevan dan berkualitas kepada pengguna, kenyataannya banyak konten berkualitas rendah yang bisa menang di media sosial. Fenomena ini terjadi karena algoritma lebih mengutamakan interaksi dan klik daripada kualitas atau kedalaman konten. Konten yang sensasional, viral, atau berbayar sering kali mendapatkan perhatian lebih besar, meskipun tidak memberikan nilai tambah yang signifikan bagi audiens.

Untuk memperbaiki situasi ini, baik pembuat konten maupun platform media sosial harus bekerja sama untuk memastikan bahwa kualitas dan relevansi konten tetap menjadi prioritas utama, bukan hanya interaksi atau popularitas semata. Dengan cara ini, media sosial dapat menjadi tempat yang lebih bermakna dan bermanfaat bagi semua pengguna.

Baca juga : Seni Manipulasi Pikiran: Cara Mengubah Follower Menjadi Pasukan Loyal